Permasalahan
korupsi itu bermula diibaratkan dari akar rumput sampai pada tingkat atas yang
menghalalkan berbagai cara untuk mendulang keuntungan yang kecil ataupun besar.
Pada dasarnya motif atau alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan
korupsi ada dua penyebab yaitu dorongan kebutuhan (need driven) dan dorongan
kerakusan (greed driven). Memang sama - sama korupsi namun ternyata latar
belakang orang melakukan perilaku tercela itu memang berlainan. Sebenarnya
perilaku korupsi ini telah mengakar di elemen masyarakat luas, tidak hanya
terjadi di institusi baik pemerintah ataupun swasta baik dilakukan oleh
aparatur pemerintah ataupun pegawai swasta.
Berbagai
komentar dari berbagai kalangan baik dari pejabat, politisi, hukum dan
akademisi setiap hari menghiasi mulai dari media cetak sampai online. Akan tetapi
seolah pemerintah bergeming dan pemberantasan korupsi seolah berjalan di
tempat.
Meski
upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, kondisi tidak kunjung membaik.
Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan
sehingga memberantasan korupsi bukanlah perkara mudah.
Di
Indonesia para pemimpin negara, petinggi, dan jajarannya ibarat setan yang
selalu menghantui perekonomian negara. Substansi politik yang berubah-ubah dan
tidak transparan dalam penyelesain setiap kasus Korupsi yang ada. Misalkan
kasus Hambalang yang menyeret M. Nazaruddin tidak pernah terbongkar walaupun
terkait tersangka dan saksi telah memberikan keterangannya untuk memberantas
masalah ini tetap tidak terbongkar.
Praktek
korupsi berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat
profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah
gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas
yang seharusnya dia laksanakan. Namun kalau ditelaah sebenarnya penyebab
timbulnya perilaku korup disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu :
1) Perilaku
yang bersumber budaya masyarakat
Perilaku
korupsi memang sangat berbeda pemahamannya antar budaya masyarakat terutama
budaya lain bangsa. Kita ambil contoh budaya Jepang yang terbiasa memberikan “omiyage”
atau cendera mata kepada mitra bisnisnya. Jadi masyarakat harus mempunyai
standar kepatutan dari sebuah figur orang dalam menjalankan sebuah jabatan. Bilamana
figur tersebut mempunyai sesuatu diluar standar kepatutan makan masyarakat
perlu bertanya darimana sesuatu miliknya itu berasal.
2) Tiadanya
transparansi atau keterbukaan
Apabila
suatu tugas dan fungsi pekerjaan dilaksanakan dengan sifat kerhasiaan yang
melekat akan mendorong timbulnya korupsi. Jadi adanya proses keterbukaan dengan
lebih memberikan kesempatan kepada elemen masyarakat dan media massa untuk
mengakses layanan publik adalah bagian dalam fungsinya menjalankan sebagai kontrol
yang akan menekan angka korupsi.
3) Ketiadaannya
lembaga pengawas
Peranan
lembaga pengawas ini sangat penting keberadaannya baik adanya lembaga pengawas
internal maunpun eksternal. Salah satu tugas lembaga pengawas ini adalah
melakukan proses investigasi adanya dugaan korupsi berasal dari keluhan
masyarakat. Bilamana lembaga semacam ini tidak ada maka aparatur akan
mendapatkan keuntungan dengan lemahnya fungsi kontrol sosial tersebut.
Contoh
lain yang paling mendasar adalah ketika kita diminta oleh seorang teman untuk menolongnya
membelikan suatu barang dengan harga tertentu yang setelah kita mendapatkannya
kita menjualnya lagi dengan harga yang lebih tinggi melebihi keuntungan yang
didapat. Memang cukup sulit untuk menemukan cara memberantas korupsi di
Indonesia karena memang mayoritas pemimpin – pemimpin tertinggi masih haus akan
uang. Tetapi percayalah bahwa akan ada cara untuk merubah sesuatu yang buruk
menjadi lebih baik tergantung cara kita menanggapi dan saling kepedulian satu
sama lainnya.
Referensi
: http://news.okezone.com/read/2013/03/20/339/778867/mengapa-korupsi-di-indonesia-sulit-diberantas